Monday, 25 April 2016

latar belakang_ PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS CERPEN DENGAN MEMANFAATKAN MEDIA KOMIK DALAM PEMBELAJARAN KEPADA SISWA KELAS X SMA

1.1    Latar Belakang
Pembelajaran menulis merupakan salah satu aspek dalam keterampilan berbahasa yang memerlukan kesabaran, keuletan dan ketelitian. Disamping itu menulis bukanlah kemampuan yang dapat dikuasai dengan sendirinya melainkan memerlukan pembelajaran sehingga diperlukan proses panjang untuk menumbuhkan kemampuan menulis.
Pembelajaran menulis cerpen merupakan salah satu materi pembelajaran yang harus dikuasai siswa kelas X, tujuannya untuk lebih memperkenalkan jenis karya sastra kepada siswa sehingga siswa mampu menghargai dan mengapresiasi karya sastra itu sendiri.
Berdasarkan kurikulum 2006  SMA, sebagai berikut.
Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia terdiri dari dua aspek yaitu aspek kebahasaan dan aspek sastra. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra.

Hal yang sama dikemukakan Aminudin (1995: 54) bahwa
pembelajaran sastra disekolah-sekolah untuk memperhalus budi pekerti siswa melalui dua kemampuan yang diajarkan yakni kemampuan berapresiasi dan berekspresi kedua kemampuan tersebut dipelajari siswa melalui pembelajaran menyimak, berbicara, membaca dan menulis.

Pembelajaran menulis cerpen selama ini kurang mendapat perhatian baik dari guru maupun siswanya. Guru hanya memberikan materi menulis cerpen sebatas membaca dan mengapresiasi saja. Alhasil, siswa kurang tertarik dan kurang memahami bagaimana cara penulisan cerpen.
Pada umumnya para guru bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra terutama pembelajaran menulis cerpen hanya meminta siswa membaca dan menjawab pertanyaan atau soal-soal. Siswa jarang diberikan pengalaman untuk mengapresiasi dan mencipta langsung.
Rahmanto (1988: 117) mengemukakan sebagai berikut.
Seorang guru yang  ingin mengajarkan penulisan kreatif pada siswanya mau tidak mau harus memulainya dengan mengenalkan karya-karya sastra yang ada. Ini berarti harus ada tindak lanjut, setelah membaca karya-karya sastra yang ada guru harus mengarahkan siswa untuk menulis kreatif sastra. Dalam hal ini, setelah guru memberi tugas membaca, siswa diarahkan untuk menulis cerpen.

Kenyataannya dalam pembelajaran menulis cerpen masih banyak kendala untuk melahirkan sebuah karya sastra yang berkualitas karena kurangnya pembendaharaan kata, kurangnya kreativitas dalam penuangan ide/ gagasan dan kurangnya minat atau motivasi dari diri siswa.
Kendala yang paling mendasar yang dialami dalam pembelajaran menulis sastra adalah guru tidak pernah memanfaatkan media dalam membantu pembelajaran menulis sastra, padahal pemanfaatan medialah yang paling memungkinkan untuk meningkatkan keterampilan menulis cerpen siswa disamping pemodelan.
Guru dituntut untuk menguasai bahasa Indonesia dan pembelajarannya serta penyajiannya harus dikemas secara menarik sehingga akan terjadi komunikasi yang sehat antara guru dan siswa yang didasari oleh minat yang tinggi untuk itu, peneliti akan mencoba menggunakan penerapan pendekatan kontekstual dengan memanfaatkan media komik sebagai modelnya.
Media tidak hanya dipandang sebagai alat bantu bagi guru untuk mengajar, melainkan lebih dipandang sebagai alat penyalur pesan dan alat bantu untuk memahami suatu pelajaran. Hal itu diperkuat oleh pendapat Sadiman (1990: 14) yang mengatakan “media pendidikan dapat mengatasi perbedaan gaya bahasa, minat, intelegensi, keterbatasan daya indera, cacat tubuh atau hambatan jarak geografis, waktu, dan lain-lain. Sarana atau media bisa dijadikan sebagai salah satu solusi untuk membantu siswa menulis cerpen”.
Media komik diharapkan menjadi solusi dalam pembelajaran menulis cerpen karena media komik mempunyai banyak kelebihan yang dapat membantu dalam pembelajaran menulis cerpen. Komik dapat membuat siswa merasa senang dan terhibur apalagi media komik juga mengandung unsur humor yang sehat dan isinya sangat ringan. Pembelajaran menulis cerpen akan menjadi sangat menyenangkan dan membangkitkan minat belajar siswa dalam menulis cerpen.

Berdasarkan masalah di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS CERPEN DENGAN MEMANFAATKAN MEDIA KOMIK DALAM PEMBELAJARAN KEPADA SISWA KELAS X SMA .........

Wednesday, 20 April 2016

Contoh BAB V skripsi Model PBI



            Bab ini akan akan diuraikan mengenai kesimpulan yang diperoleh untuk menjawab masalah penelitian dan saran-saran sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.

A.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data, temuan dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan penelitian sebagai berikut :

1.      Indeks Prestasi Sampel pada sampel penelitian mengalami peningkatan untuk tiap seri pembelajaran setelah diimplementasikan Model PBI. Pada seri pembelajaran I sebesar 71.58, pada seri pembelajaran II sebesar 81.19 dan pada pembelajaran seri III sebesar 78.51.  Yang masing-masing berada dalam kategori sedang, tinggi dan sedang.

  1. Penguasaan konsep siswa pada materi pokok pemantulan cahaya pada cermin lengkung setelah diimplementasikan model Pembelajaran Berdasarkan Masalah mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan yang signifikan pada taraf kepercayaan 0,05 antara skor gain pembelajaran seri I (gain 1) dan skor gain pembelajaran seri II (gain 2), demikian juga antara  skor gain seri III (gain 3) dan gain 1. namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara gain 2 dan gain 3. Dengan melihat skor gain rata-rata yaitu gain 3 > gain 2 > gain 1 maka dapat disimpulkan adanya peningkatan penguasaan konsep dari seri I ke seri II dan dari seri II ke seri III.
3.      Model PBI dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi pokok pemantulan cahaya pada cermin lengkung untuk tiap seri. Dan jika dilihat dari efektivitas pembelajaran, pembelajaran dengan menggunakan Model PBI termasuk dalam kategori sedang atau cukup efektif untuk diterapkan di kelas.

4.      Sebanyak 82.52 % siswa menyatakan suka dengan Model PBI, alasannya beragam seperti menyenangkan, asyik, bisa tukar pendapat,  melatih untuk menyelesaikan permasalahan, menumbuhkan keberanian dalam memecahkan suatu masalah, memberi kesempatan untuk mencari alternatif jawaban yang paling baik, terasa manfaatnya karena permasalahan yang diangkat merupakan permasalahan yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.


B.     Saran

            Adapun saran dari penelitian ini diantaranya:
1.      Dalam hal pembuatan instrumen harus memperhatikan hal-hal berikut yaitu :
a.       Tempat pengujian instrumen harus yang benar-benar bisa menggambarkan keadaan kelas sampel penelitian.
b.       Ujicoba lebih luas dan validasi model.
c.       Dalam pembuatan instrumen sebaiknya memperhatikan tingkat kemampuan siswa yang heterogen dan berbagai kendala dalam proses pembelajaran.
2.      Tersedianya Lembar Kerja Siswa yang refresentatif yang dapat mempermudah siswa dalam melakukan penyelidikan.
3.      Sebelum melaksanakan model PBI pada materi pokok pemantulan cahaya ini, sebaiknya guru terlebih dahulu memberikan pengajaran tambahan mengenai operasi bilangan pecahan pada siswa sebagai kemampuan prasyarat yang harus dimiliki siswa agar dapat mencapai ketuntasan dalam materi pemantulan cahaya terutama pada submateri perhitungan pada cermin cekung dan cermin cembung.
4.      Bagi guru yang akan menggunakan model pembelajaran ini, hendaknya menguasai betul model PBI agar pembelajaran berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan yang semestinya.
5.      Penerapan model hendaknya memperhatikan berbagai kendala yang dirasakan oleh guru diantaranya dari segi fasilitas pembelajaran dan waktu sehingga model pembelajaran yang telah disusun dapat diimplementasikan pada pembelajaran selanjutnya.

6.      Penelitian lebih diarahkan untuk meningkatkan tahap mempresentasikan hasil penyelidikan guna meningkatkan kemampuan matematis dan komunikasi siswa.

Monday, 18 April 2016

Pengertian Pola Asuh Orang Tua dengan Prestasi Belajar Siswa pada Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar


1.      Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
a.       Hakikat, Fungsi dan Tujuan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
1)      Hakikat Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
Menurut kurikulum Sekolah Dasar 2006 (Badan Standar Nasional Pendidikan 2006: 29)
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjeng SD mata pelajaran IPS memuat materi geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata Pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.

Berdasarkan pernyataan di atas, pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar adalah pembelajaran yang memberikan pengetahuan dasar yang kuat bagi peserta didik dalam memahami dan menguasai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pemahaman dan penguasaan tentang fenomena-fenomena sosial, mulai dari yang dekat dengan lingkungannya sampai dengan fenomena dunia. Kurikulum Sekolah Dasar 2006 (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006: 109) menegaskan pula bahwa “mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari Sekolah Dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerjasama.”
2)      Tujuan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
Tujuan pembelajaran IPS di Sekolah Dasar berdasarkan kurikulum Sekolah Dasar 2006 (Badan Standar Nasional Pendidikan 2006: 29) adalah berikut ini :
Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1.       Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dengan lingkungannya
2.       Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inquiri, memecahkan masalah dan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari.
3.       Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
4.       Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetensi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.

3)      Ruang Lingkup Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
Ruang lingkup mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1.      Manusia, tempat, dan lingkungan
2.      Waktu, keberlanjutan dan perubahan
3.      Sistem sosial dan budaya
4.      Perilaku ekonomi dan kesejahteraan

b.      Program Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
Kurikulum Sekolah Dasar 2006 (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006) menetapkan bahwa program pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dikembangkan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar . Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006) ditetapkan sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan logis, sistematis, kritis  dan kreatif serta kemampuan bekerja sama sehingga dengan kemampuan tersebut peserta didik memiliki kemampuan untuk memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi dalam rangka bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pembelajaran IPS yng harus dikembangkan di Sekolah Dasar, menurut program pembelajaran IPS di kelas IV semester 1 (BSNP:2006) adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas IV

Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1.    Memahami sejarah, kenampakkan alam, dan keragaman suku bangsa di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi

1.1   Membaca peta lingkungan setempat (kabupaten/kota, provinsi) dengan menggunakan skala sederhana.
1.2   Mendeskripsikan kenampakkan alam di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi serta hubungannya dengan keragaman sosial dan budaya.
1.3   Menunjukkan jenis dan persebaran sumber daya alam serta pemanfaatannya untuk kegiatan ekonomi di lingkungan setempat
1.4   Menghargai keragaman suku bangsa dan budaya setempat (kabupaten/kota, provinsi)
1.5   Menghargai berbagai peninggalan sejarah di lingkungan setempat(kabupaten/kota, provinsi) dan menjaga kelestariannya
1.6   Meneladani kepahlawanan dan patriotisme tokoh-tokoh di lingkungannya

2.      Pengertian Pola Asuh Orang Tua
a.       Pola Asuh
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang berkepribadian baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Orang tua sebagai pembentuk yang pertama dalam kehidupan anak, dan harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Sebagai mana yang dinyatakan oleh Zakiyah Daradjat (1995: 56) bahwa “kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup merupakan unsure-unsur pendidikan yang secara tidak langsung akan masuk kedalam pribadi anak yang sedang tumbuh.”
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 54), “pola berarti corak, model, system, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap.” Sedangkan kata asuh berarti menjaga, merawat dan mendidik anak kecil, membimbing (membantu, melatih dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.” Sehingga pola asuh berarti pendidikan, sedangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.. Jika ditinjau dari terminologi, pola asuh anak adalah suatu pola atau sistem yang diterapkan dalam menjaga, merawat dan mendidik seorang anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif atau positif.
b.      Orang Tua
Pengertian orang tua menurut Hasan (2009:1) adalah “ Ibu dan Bapak kandung, seseorang bukan bapak atau ibu tiri, bukan pula bapak asuh atau ibu asuh, tetapi bapak atau ibu kandung siswa yang telah diikat oleh tali perkawinan yang sah menurut agama maupun secara administrasi pemerintahan”
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa orang tua adalah bapak atau ibu kandung siswa yang telah melahirkannya. Mempunyai kewajiban membesarkan, mengasuh putra-putrinya agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT. Berbudi pekerti luhur, dapat hidup mandiri serta mampu mengatasi permasalahan dalam hidupnya dan yang paling penting orang tua harus memberikan perhatian yang penuh terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak.
Jadi pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak, dimana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
3.      Pengertian Prestasi Siswa
a.       Prestasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 700) prestasi adalah “hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan atau dikerjakan.” sedangkan menurut  Abdul Gafur, “prestasi adalah penguasaan siswa terhadap materi pelajaran tertentu yang telah diperoleh dari hasil tes belajar yang dinyatakan dalam bentuk skor.”
Berdasarkan pendapat diatas, penulis berkesirnpulan hahwa prestasi adalah segala usaha yang dicapai manusia secara pribadi atau kelompok secara maksimal dengan hasil yang dinyatakan dalam bentuk skor.
b.      Siswa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:951) “Siswa yaitu murid (terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah)”
Ini menunjukkan bahwa siswa mempunyai batasan tertentu di mana seseorang disebut siswa sampai ke jenjang pendidikan menengah atas.
B.     Bentuk Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak
Dalam mengelompokkan pola asuh orang tua dalam mendidik anak, para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, yang antara satu sama lain hamper mempunyai persamaan.
Menurut Abu Ahmadi (1991: 180) corak hubungan orang tua dan anak dapat dibedakan menjadi tiga pola, yaitu
1.      Pola menerima-menolak, pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.
2.      Pola memiliki –melepaskan, pola ini didasarkan atas sikap pritektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua yang overprotektif dan memiliki anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.
3.      Pola demokrasi-otokrasi, pola ini didasarkan atas taraf partisipasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai dictator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi sampai batas-batas tertentu anak dapat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan keluarga.

Menurut Danny I. Yatim Irwanto ( 1991:94), mengemukakan beberapa pola asuh orang tua yaitu:
1.      Pola asuh otoriter, pola ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat dibatasi
2.      Pola Asuh Secara Demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka.
3.      Pola Asuh Permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar, memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya..
4.      Pola Asuh dengan ancaman, ancaman atau peringatan yang dengan keras diberikan pada anak akan dirasa sebagai tantangan terhadap otonomi dan pribadinya. Ia akan melanggarnya untuk menunjukknan bahwa ia mempunyai harga diri.
5.      Pola asuh dengan hadiah, yang dimaksud disini adalah jika orang tua mempergunakan hadiah yang bersifat material atau suatu janji ketika menyuruh anak berperilaku seperti yang diinginkan.
Sedangkan Marcolm Hardy dalam Soenardji (1986:131) mengemukakan empat macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu:
1.      Autokratis (otoriter), ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan kebebasan anak sangat dibatasi.
2.      Demokratis ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak.
3.      Permisif ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.
4.      Laissez faire ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anaknya.

Dari berbagai macam pola asuh yang dikemukakan di atas, penulis hanya akan mengemukakan tiga macam saja, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh penelantar. Hal tersebut dilakukan agar pembahasan menjadi lebih terfokus dan jelas.
1.      Pola Asuh Otoriter
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1988:692), “otoriter berarti berkuasa sendiri dan sewenang-wenang”. Menurut Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, pola asuh otoriter adalah “suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat orang tua tanpa ada kebebasan untuk mengemukakan pendapat sendiri”.
Jadi pola asuh otoriter adalah cara mengasuh anak yang dilakukan orang tua dengan menentukan sendiri aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak tanpa kompromi dan tidak memperhitungkan keadaan anak, sertya orang tualah yang berkuasa menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanyalah sebagai objek pelaksana saja. Jikas anak-anaknya menentang atau membantah, maka ia tak segan-segan memberikan hukuman. Jadi, dalam hal ini kebebasan anak sangatlah dibatasi. Apa saja yang dilakukan anak harus sesuai dengan keinginan orang tua.
Pada pola asuhan ini akan terjadi komunikasi satu arah. Orang tualah yang memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan dan keinginan anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua, karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Jadi anak melakukan perintah oprang tua karena takut, bukan karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakannya itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak.
Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat mempengaruhi proses pendidikan anak terutama dalam pembentukan kepribadiannya, karena kedisiplinan yang dinilai efektif oleh orang tua secara sepihak belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Prof. Dr. Utami Munandar (1992: 127) mengemukakan bahwa “sikap orang tua yang otoriter paling tidak menunjang perkembangna kemandirian dan tanggung jawab social. Anak jadi patuh dan rajin mengerjakan pekerjaan sekolah tetapi kurang bebas.”
Disini perkembangan anak itu semata-mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribadi anak yang otoriter niasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu-ragu didalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Anak yang dibesarkan di rumah yang bernuansa otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orang tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang seharusnya dilakukan. Larangan dan hukuman orang tua akan menekan daya kreatifitas anak yang sedang berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan ia tidak akan berani mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak ada kesempatan untuk mencoba. Anak akan takut untuk mengemukakan pendapatnya, ia merasa tidak dapat mengimbangi teman-temannya dalam segala hal, sehingga anak menjadi pasif dalam pergaulan. Lama-lama ia akan mengalami perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.
Karena kepercayaan terhadap diri sendiri tidak ada, maka setelah dewasa pun masih akan terus mencari bantuan, perlindungan dan pengamatan. Ini berarti anak tersebut tidak berani memikul tanggung jawab.
Adapun ciri-ciri pola asuh otoriter adalah sebagai berikut:
a.       Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah.
b.      Orang tua cenderung mencari kesalahan anak dan kemudian menghukumnya
c.       .Orang tua cenderung memberi perintah dan larangan kepada anak.
d.      Jika terdapat perbedaan antara orang tua dan anak maka anak disebut pembangkang.
e.       Orang tua cenderung memaksakan disiplin.
f.       Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana.
g.      Tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak.
2.      Pola Asuh Demokratis
Menurut Prof. Dr. Utami Munandar (1992:98), “pola asuh demokratis adalah cara mendidik anak, dimana orang tua menentukan peraturan-peraturan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak”.
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan kata lain pola asuh demokratis ini memberi kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang tua.
Orang tua juga selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh pengertian terhadap anak mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Pola asuh demokrasi ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anak. Mereka membuat aturan-aturtan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuki mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya. Jadi dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orang tua dan anak.
Pola asuh demokrasi ini dapat dikatakan sebagai kombinasi dari dua pola asuh ekstrim yang bertentangan, yaitu pola asuh otoriter dan laissez faire. Polaasuhan demokratik ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya dan belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Orang tua bersifat sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak.
Dengan pola asuhan ini anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakiat. Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertnggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreatifitasnya berkembang baik karena orang tua merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif..
Rumah tangga yang hangat dan demokratis, juga berarti bahwa orang tua merencanakan kegiatan keluarga untuk mempertimbangkan kebutuhan anak agar tumbuh dan berkembag sebagai individu dan bahwa orang tua memberinya kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu yang diatasi oleh anak. Sasaran orang tua adalah mengembangkan individu yang berpikir yang dapat menilai situasi dan bertindak dengan cepat.
Menurut Fromm dalam Abu Ahmadi (1991: 180) bahwa “anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana demokratik, perkembangannya lebih luwes dan dapat menerima kekuasaan secara rasional. “ Dalan pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis  menjadikan adanyakomunikasi yang logis, adanya kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh karena itu, memungkinkan mereka untuk memahami, menerima, dan menginternalisasi pesan nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata hati.


Adapun ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut :
a.           Menentuka peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak.
b.          Memberikan pengarahan tentang perbuatn baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar ditinggalkan.
c.           Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian.
d.          Dapat menciptakan keharmonisn dalam keluarga.
e.           Dapat menciptakan suasana yang komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga.
Dari berbagai macam pola asuh yang banyak dikenal, pola asuh demokratis memberi dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan pola asuh otoriter maupun lassez faire. Dengan pola asuh demokratis anak akan menjadi orang yang mau menerima kritik dari orang lain, mampu menghargai orang lain, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan mampu bertanggung jawab terhadap kehidupan sosialnya.
3.      Pola Asuh Penelantar
Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah perilaku itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada pola asuh inianak dipandang sebagai makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat sesuai hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang diinginkannya. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah, tergantung dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional.
Seorang anak yang belum pernah belajar untuk mentoleransi frustasi, karena ia diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya akan menemukan banyak masalah ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja tersebut mengharapkan orang lain untuk membuat penyesuaian terhadap tingkah laku mereka. Ketika mereka kecawa mereka menjadi gusar, penuh kebencian dan bahkan marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali dipertimbangkan, hanya pandangan mereka yang berguna.
Adapun yang termasuk ciri pola asuh penelantar adalah sebagai berikut :
a.       Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya.
b.      Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh.
c.       Mengutamakan kebutuhan material saja.
d.      Membiarkan apa saja yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan dan norma-norma yang digariskan orang tua)
e.       Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga.
Setiap tipe pola asuh memiliki resiko masing-masing. Pola asuh penelantar membuat anak merasa boleh berbuat sekehendak hatinya. Anak cenderung memiliki rasa percaya diri yang besar, kemampuan sosial baik, dan tingkat depresi lebih rendah tetapi akan memungkinkan terlibat dalam kenakalan remaja dan memiliki prestasi yang rendah di sekolah.
Anak membutuhkan dukungan dan perhatian dari keluarga dalam menciptakan karyanya oleh karena itu, pola asuh yang dianggap cocok untuk mengembangkan kraetifitasnya adalah demokratif. Dalam pola asuh ini orang tua memberi kontrol terhadap anaknya dalam batas-batas tertentu. Melalui pola asuh ini, anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya, kegelisahannya kepada orang tua dan senantiasa meminta bantuan untuk mencari jalan keluar tanpa merasa didikte.
C.    Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Prestasi Siswa pada Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
Usia sekolah adalah usia yang rentan bagi anak. Pada usia ini anak mempunyai sifat imitasi atau meniru terhadap apapun yang telah dilihatnya. Orang-orang dewasa yangpaling dekat dengan anak adalah orang tua. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak yang mempunyai pengaruh sangat besar. Haryoko (1997: 2) berpendapat bahwa lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai stimulans dalam perkembangan anak. Orang tua mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan kepribadian anak. 
Pembelajaran tentang sikap, perilaku dan bahasa yang baik sehingga akan terbentuknya kepribadian anak yang baik pula, perlu diterapkan sejak dini. Orang tua merupakan pendidik yang paling utama, guru serta teman sebaya yang merupakan lingkungan kedua bagi anak. Kebutuhan yang diberikan melalui pola asuh, akan memberikan kesempatan pada anak untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah sebagian dari orang-orang yang berada di sekitarnya.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua mempunyai hubungan  yang sangat besar terhadap prestasi siswa pada pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.

Friday, 15 April 2016

Problem Based Instructions


Pembelajaran Berdasarkan Masalah atau Problem Based Instructions merupakan model pembelajaran yang menggunakan pendekatan Problem based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah) yaitu suatu model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dalam kehidupan sehari-hari untuk belajar, yang memulai proses pembelajaran dengan mengemukakan masalah. Ibrahim, M ( dalam Ika Mustika 2006 :11) menyatakan bahwa Pembelajaran PBI merupakan pembelajaran yang menyajikan masalah, yang kemudian digunakan untuk merangsang berfikir tingkat tinggi yang berorientasi pada masalah, dan termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar.
Dalam membahas Model Pembelajaran PBI tidak terlepas dari pendekatan Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis masalah). Ada beberapa definisi tentang pendekatan Problem Based Learning, salah satunya dikemukakan oleh Jones Rasmussen ( Mergendoller dan Yolanda Bellisimo, 2002) bahwa:
 Problem Based Learning (PBL) is an instructional approach whwre students are confronted with simulated, real-world  problems, and is frequently advanced as a powerful and engaging learning strategy that leads to sustained and transferable learning.

Yang dapat diartikan bahwa Pendekatan Problem Based Learning adalah sebuah pendekatan dimana siswa dihadapkan pada masalah  nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dikonfrontasikan melalui simulasi-simulasi.
Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty, (1997) menyatakan bahwa PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada peserta didik dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui simulasi dalam belajar. PBL memiliki karakteristik sebagai berikut:
  1. Belajar dimulai dengan suatu masalah
  2. Memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa
  3. Mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu
  4. Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri
  5. Menggunakan kelompok kecil
  6. Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.
Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pendekatan Problem Based Learning  dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalah pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut.  Siswa dapat memilih maslaah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.
Pembelajaran PBI sendiri telah dikenal sejak zaman John Dewey, yang sekarang ini mulai diangkat karena ditinjau secara umum PBI terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey (dalam Trianto : 67) belajar Berdasarkan Masalah adalah interaksi stimulus dengan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian serta bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya.
PBI merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran prose berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks (Ratumanan dalam Trianto : 68)    
Menurut Arends ( dalam trianto : 68), PBI merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangan kemandirian dan percaya diri.  
  1. Ciri-ciri khusus Problem Based Instructions
Menurut Arends ( dalam trianto : 68), berbagai pengembang Pembelajaran PBI telah memberikan model pembelajaran itu memiliki karakteristik sebagai berikut (Krajcik, 1999; Krajcik, Blumenfeld, Marx, dan Soloway, 1994; Slavin, Maden, Dolan, dan Wasik, 1992, 1994; Cognition & Tecnology Group at Vanderbilt, 1990).
a.       Pengajuan pertanyaan atau masalah. Bukannya mengorganisasikan di sekitar prinsip-prinsip atau keterampilan akdemik tertentu, Pembelajaran Berdasarkan Masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.
b.      Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun Pembelajaran Berdasarkan Masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
c.       Penyelidikan autentik. Pembelajaran Berdasarkan Masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu, metode penyelidikan yang digunakan, bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari.
d.      Menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran Berdasarkan Masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video maupun program computer. Karya nyata atau peragaan tersebut direncanakan oleh siswa untuk didemonstrasikan kepada temannya yang lain tentang apa yang mereka pelajari.
e.       Kolaborasi. Pembelajaran Berdasarkan Masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
  1. Manfaat Problem Based Instructions
PBI tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. PBI dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim dalam Trianto : 70).
Menurut Sudjana, manfaat khusus yang diperoleh dari metode Dewey adalah metode pemecahan masalah. Tugas guru adalah membantu para siswa merumuskan tugas-tugas, dan bukan menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari buku, tetapi dari masalah yang ada disekitarnya.

  1. Teori Belajar yang melandasi Problem Based Instructions
a.      Teori Belajar Konstruktivistik
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivistis. Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam trianto, 2007: 8).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Nur dalam Trianto, 2007 : 14).
b.      Contextual teaching and Learning (CTL)
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) merupakan sutau konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara dan tenaga kerja (US. Deartement of education the national school-to-work office yang dikutip oelh Blanchard, 2001 dalam Trianto, 2007 : 101).
Perkembangan pemahaman yang diperoleh selama mengadakan telaah pustaka menjadi semakin jelas bahwa CTL merupakan suatu perpaduan dari banyak “ praktek yang baik” dan beberapa pendekatan reformasi pendidikan yang dimaksudkan untuk memperkaya relevansi dan penggunaan fungsional pendidikan untuk semua siswa.
Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh kompenen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme (contructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling) dan penilaian autentik (authentic assessment).
Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam mebangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup.
  1. Karakteristik Pembelajaran
Model PBI berbeda dengan model pembelajaran lainnya. Dalam PBI yang menjadi ciri utamanya yaitu menggunakan pendekatan Problem Based Learning. Dengan demikian ciri yang paling utama dari PBI yaitu dimunculkannya masalah pada awal pembelajarannya. Dalam PBI, guru bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai penyampai informasi. Siswa diharapkan berperan aktif dalam memecahkan permasalahan.
PBI utamanya dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, keterampilan intelektual (Sudibyo dalam Ika Mustika, 2006 : 20). Adapun karakteristik masalah yang disajikan dalam PBI adalah bahwa masalah tersebut harus menarik perhatian siswa untuk dipecahkan, menantang siswa untuk diselesaikan yang merupakan situasi atau masalah yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari siswa (kontekstual), menuntut siswa untuk mengerjakan masalah secara berkelompok.








Tuesday, 12 April 2016

Model Pembelajaran Kartu berpasangan

1.  
a.        Pengertian Kartu berpasangan
adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama kemampuan bekerja sama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab, 2007 : 59).
Model kartu berpasangan atau mencari pasangan merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan kepada siswa. Penerapan metode ini dimulai dari teknik yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin. Teknik metode pembelajaran kartu berpasangan atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan tehnik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan
Suyatno (2009:72) mengungkapkan bahwa model kartu berpasangan adalah model pembelajaran dimana guru menyiapkan kartu yang berisi soal atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian siswa mencari pasangan kartunya. Model pembelajaran kartu berpasangan merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial (Lie, 2003:27). Model kartu berpasangan melatih siswa untuk memiliki sikap sosial yang baik dan melatih kemampuan siswa dalam bekerja sama disamping melatih kecepatan berfikir siswa.
b.        Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Kartu berpasangan
Adapun kelebihan pembelajaran kooperatif tipe kartu berpasangan     yaitu:
1.      Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them move).
2.      Kerjasama antara sesame murid terwujud secara dinamis.
3.      Munculnya dinamika gotong royong yang merata diseluruh murid.
4.      Murid mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topic dalam suasana menyenangkan.
Selain memiliki kelebihan dalam pembelajaran ini, juga terdapat kelemahan dalam penerapan yaitu:
1.      Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan.
2.      Waktu yang tersedia perlu dibatasi jagan sampai murid terlalu banyak bermain-main dalam proses pembelajaran.
3.      Guru perlu persiapan alat dan bahan yang memadai.
4.      Jika kelas anda termasuk gelas gemuk (lebih dari 30 orang/kelas) berhati-hatilah.
5.     Memakan waktu yang banyak karna sebelum masuk kelas terlebih dahulu kita mempersiapkan kartu-kartu.
c.         Tujuan Metode Pembelajaran Kartu Berpasangan
Tujuan yang ingin Anda capai dalam pembelajaran, sangat mempengaruhi Anda dalam memilih metode pembelajan. Setidaknya, ada tiga tujuan penerapan metode kartu berpasangan, yaitu:
1.      pendalaman materi;
2.      menggali materi; dan
3.      untuk selingan.
Pengembang model pembelajaran kartu berpasangan pada mulanya merancang metode ini untuk pendalaman materi. Siswa melatih penguasanaan materi dengan cara memasangkan antara pertanyaan dan jawaban. Jika tujuan ini yang Anda pakai, maka Anda harus membekali dulu siswa Anda dengan materi yang akan dilatihkan. Anda dapat menjelaskan materi , atau Anda memberi tugas pada siswa untuk membaca materi terlebih dahulu, sebelum Anda menerapkan metode ini.
Prinsipnya, siswa Anda harus mempunyai pengetahuan tentang matari yang akan dilatihkan terlebih dahulu. Baru setelah itu Anda menggunakan metode / model pembelajaran kartu berpasangan ini. siswa akan semakin mudah dan cepat terhadap materi yang dipelajari